JAKARTA — Persidangan gugatan perdata terhadap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia kembali ditunda setelah majelis hakim menemukan sejumlah pihak tergugat belum memenuhi pemanggilan resmi dan kelengkapan dokumen hukum. Penundaan ini diputuskan dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (08/10/2025).
Ketua Majelis Hakim Ni Kadek Susantiani menyampaikan bahwa sidang akan dilanjutkan pada Rabu (15/10/2025) mendatang dengan agenda pemeriksaan legal standing para tergugat dan pemanggilan ulang terhadap salah satu pihak yang belum hadir.
“Untuk itu, persidangan akan kita lanjutkan minggu depan untuk legal standing Tergugat 1, Tergugat 2, dan pemanggilan ke Tergugat 3,” ujar Hakim Kadek dalam sidang tersebut.
Dari pantauan di ruang sidang, pihak penggugat, Tati Suryati, hadir langsung didampingi kuasa hukumnya, Boyamin Saiman. Namun, dari tiga pihak tergugat, hanya perwakilan dari Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dan Pertamina yang datang. Keduanya diwakili oleh tim kuasa hukum, tetapi belum menyerahkan surat kuasa resmi dari atasan masing-masing. Sementara itu, PT Shell Indonesia selaku Tergugat 3 tidak hadir dalam persidangan meski surat pemanggilan sudah diterima.
“Karena masih ada dokumen dan pihak yang belum lengkap, maka sidang kita tunda. Akan kita buka kembali pada 15 Oktober 2025,” tegas Hakim Kadek sebelum menutup sidang.
Gugatan ini bermula dari kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta sejak pertengahan September 2025. Tati Suryati, yang merupakan pengguna setia BBM Shell V-Power Nitro+ RON 98, mengaku dirugikan karena kesulitan mendapatkan bahan bakar dengan spesifikasi tinggi untuk mobil pribadinya.
Kuasa hukum Tati, Boyamin Saiman, menilai kebijakan Menteri ESDM yang disebut memprioritaskan distribusi BBM impor melalui kolaborasi dengan Pertamina telah menyalahi ketentuan dalam Pasal 12 ayat (2) Perpres Nomor 191 Tahun 2014. Aturan tersebut menegaskan bahwa setiap badan usaha memiliki hak yang sama untuk melakukan impor minyak bumi, sepanjang mendapat izin dari Kementerian ESDM dan Kementerian Perdagangan.
“Bahwa Tergugat I (Menteri ESDM) melalui pernyataannya di media pada 20 September 2025 menyebutkan pemerintah membuat keputusan untuk tetap melayani penjualan BBM impor lewat kolaborasi dengan Pertamina,” jelas Boyamin.
Dalam gugatannya, Tati menuntut ganti rugi material sebesar Rp1.161.240 dan ganti rugi immaterial senilai Rp500 juta. Nilai kerugian tersebut didasarkan pada potensi kerusakan kendaraan akibat penggunaan bensin RON 92 yang dinilai tidak sesuai dengan standar kendaraan miliknya.
Kasus ini kini menjadi sorotan publik karena melibatkan pejabat tinggi negara dan dua perusahaan besar penyedia BBM di Indonesia. Publik menanti kelanjutan sidang pada pekan depan, yang akan menentukan kejelasan status hukum para tergugat dan arah penyelesaian perkara kelangkaan BBM di SPBU swasta tersebut. []
Diyan Febriana Citra.
