BLITAR-Di Blitar ada Monumen Trisula. Monumen tersebut dibangun sebagai pengingat bahwa di tempat tersebut pernah terjadi Penumpasan PKI.
Monumen Trisula berada di Jalan Trisula, Bakung Utara, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar. Dulu, kawasan ini merupakan salah satu basis PKI yang menggalang kekuatan untuk bangkit kembali.
Monumen ini berdiri di atas tanah seluas 5.626 m2. Tampak megah dengan desain yang artistik. Ada lima patung yang berdiri di Monumen Trisula. Patung-patung itu dikelilingi pilar tembok setinggi sekitar 5 meter.
Tiga di antaranya merupakan patung TNI yang membawa senjata. Ada satu patung TNI yang tengah menunjuk ke depan. Maknanya, menunjukkan bahwa di daerah ini pernah terjadi penumpasan sisa-sisa PKI.
Dua patung lainnya menggambarkan warga yang mendukung dan bergabung dengan TNI dalam Operasi Trisula selama 1,5 bulan itu.
Ada 45 anak tangga menuju monumen, yang memiliki makna tahun kemerdekaan Indonesia, yakni 1945. Kemudian ada 17 pilar yang memiliki makna tanggal 17. Lalu ada angka 8 yang memiliki makna Bulan Agustus.
Perlu diketahui jika kini telah lebih dari setengah abad berlalu, tapi aroma ketakutan di Blitar Selatan belum benar-benar hilang.
Di balik perbukitan dan ladang kering, tersimpan kisah kelam yang lama dibungkam: Operasi Trisula tahun 1968–1969, operasi militer yang menghapus ribuan nyawa atas nama “pembersihan komunis.”
Wilayah Blitar saat itu dituding sebagai salah satu basis terakhir Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah peristiwa 30 September 1965.
Negara menganggap Blitar sebagai sarang pelarian tokoh-tokoh PKI yang berusaha membangun kembali kekuatan. Tudingan itu menjadi alasan bagi militer melancarkan operasi besar-besaran yang dikenal dengan sandi Trisula.
Pemburuan di Tanah Sendiri
Operasi Trisula dipimpin langsung oleh Komando Daerah Militer (Kodam) Brawijaya dan melibatkan ribuan prajurit. Targetnya bukan hanya anggota partai, tapi juga warga desa yang dianggap berhubungan dengan mereka.
“Siapa pun yang dicurigai simpatisan, ditangkap tanpa proses hukum,” tulis laporan KontraS.
Penangkapan dilakukan secara brutal. Banyak warga dibawa ke pos-pos militer tanpa surat resmi, lalu tidak pernah kembali. Mereka yang beruntung hanya ditahan dan disiksa. Kesaksian warga menggambarkan bagaimana orang-orang digiring dengan tangan terikat, dipukuli, bahkan ditembak di depan umum.
“Kalau pagi, kami sering menemukan jenazah di pinggir sungai,” ungkap seorang saksi dalam wawancara yang dicatat tim KontraS. “Tak ada yang berani memakamkan. Semua takut dianggap ikut PKI.”
Kamp Penahanan dan Kerja Paksa
Korban yang selamat dari pembunuhan massal dikirim ke tempat penahanan sementara di Blitar, Malang, hingga Surabaya. Banyak yang kemudian dipindahkan ke Pulau Buru di Maluku, tempat ribuan tahanan politik lain dikumpulkan untuk menjalani kerja paksa.
Di Blitar sendiri, para tahanan dipaksa bekerja membuka lahan, membangun jalan, dan menggali kuburan massal bagi rekan-rekannya yang telah dieksekusi. “Kerja paksa jadi bagian dari hukuman sosial yang tidak pernah diakui negara,” kata laporan tersebut.
Bahkan setelah dibebaskan, mereka diwajibkan melapor rutin ke aparat militer—aturan wajib lapor yang berlangsung hingga puluhan tahun kemudian. Di KTP mereka, tertulis stempel “Eks Tapol,” cap yang cukup untuk menutup semua pintu pekerjaan, pendidikan, dan hak politik.
Kekerasan dalam Operasi Trisula juga menimpa banyak perempuan. Mereka diperkosa, dilecehkan, atau dipaksa menikah dengan aparat demi menyelamatkan diri. Beberapa di antaranya kehilangan suami dan anak dalam operasi tersebut.
“Kekerasan seksual tidak hanya sebagai alat penghinaan, tapi juga pengendalian,” tulis laporan KontraS.
Kekerasan dalam Operasi Trisula juga menimpa banyak perempuan. Mereka diperkosa, dilecehkan, atau dipaksa menikah dengan aparat demi menyelamatkan diri. Beberapa di antaranya kehilangan suami dan anak dalam operasi tersebut.
“Kekerasan seksual tidak hanya sebagai alat penghinaan, tapi juga pengendalian,” tulis laporan KontraS.
Namun banyak perempuan memilih diam. Di masyarakat, stigma “istri PKI” atau “perempuan kiri” jauh lebih mematikan daripada luka fisik yang mereka tanggung.
KontraS mencatat adanya indikasi kuburan massal di beberapa titik di Blitar Selatan, termasuk di wilayah Lodoyo, Bakung, dan Tambakrejo. Hingga kini, belum ada satu pun penyelidikan resmi dari negara untuk memastikan lokasi atau jumlah korban.
Warga hanya menyebutnya “tanah keramat”—tempat yang tak boleh diganggu.
Komnas HAM sempat melakukan penyelidikan pada 2012 dan mengonfirmasi adanya unsur pelanggaran HAM berat. Namun laporan itu berhenti di meja Kejaksaan Agung tanpa tindak lanjut.
Luka yang Masih Terbuka
Kini, generasi muda di Blitar tumbuh tanpa benar-benar mengetahui tragedi di tanah mereka sendiri. Sekolah tidak pernah mengajarkan, negara memilih diam. Hanya para penyintas yang tersisa, membawa ingatan pahit dalam tubuh renta dan kata-kata yang bergetar.
“Tidak ada yang mau mendengar kami,” kata seorang korban yang kini berusia 80 tahun. “Padahal kami hanya ingin nama kami dibersihkan.”
Sumber: KontraS – Menyusun Puzzle Pelanggaran HAM 1965: Sebuah Upaya Pendokumentasian
